Thursday, April 30, 2015

“KILAS BALIK KRISIS EKONOMI INDONESIA 1997-1998 DAN KEADAAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2015"

KATA PENGANTAR

            Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat taufik dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. penulisan makalah ini yang berjudul “kilas balik dan analisis ekonomi tahun 1997-1998”, ini bertujuan untuk mengulas kembali peristiwa ekonomi di indonesia dan menganalisis krisis ekonomi tahun 1997-1998.
     Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini,itu dikarenakan kemampuan penulis yang terbatas.namun berkat bantuan dari rekan-rekan satu kelompok,serta dosen pembimbing yang telah membimbing dalam penyusunan makalah ini.
     Penulis berharap dengan penulisan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan bagi pembaca serta semoga menjadi bahan pertimbangan untuk meningkatkan prestasi dimasa yang akan datang.


                                                                                               
                                                                                    BEKASI, 29 APRIL 2015

                                                                                               
                                                                                                             Penyus
un


BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
Krisis ekonomi indonesia dari zaman dahulu hingga zaman sekarang sudah sering terjadi apalagi pada tahun 1997 indonesia pernah mengalami krisis moneter selama lebih dari 2 tahun diubahlah menjadi krisi ekonomi yakni lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang ditutup dan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur.oleh karena itu perlu adanya tindakan- tindakan nyata dari pemerintah untuk memperbaiki ini semua sehingga indonesia bisa menjadi lebih baik dan tingkat pengangguran di Indonesia berkurang sepenuhnya.
Krisis ekonomi yang berkembang menjadi krisis di berbagai bidang telah memberikan kesadaran baru akan adanya persoalan di bidang ekonomi,politik,hukum serta agama dan sosial budaya yang bersifat stuktural dan terus berkembang di kalangan masyarakat.
Persoalan ketidakadilan terus dipertanyakan dan dituntut oleh masyarakat untuk segera diperbaiki. Masyarakat menuntut reformasi segala bidang secara mendasar, termasuk pemulihan ekonomi secepatnya. Langkah-langkah untuk menanggulangi krisis secepatnya dan melaksanakan reformasi tersebut selanjutnya telah diamanatkan rakyat indonesia melalui sidang istimewa majelis permusyawaratan rakyat pada bulan november 1998.namun demikian upaya pemulihan ekonomi berjalan lambat karena situasi sosial,politik,dan keamanan yang kurang kondusif.

1.2   Rumusan Masalah
1.      Bagaimana cara mengatasi krisis ekonomi di Indonesia?
2.      Faktor apa sajakah yang menjadi penyebab krisis ?
3.      Bagaimana kondisi negara Indonesia tahun 1998 di saat krisis ?



BAB II
PEMBAHASAN

Kondisi Awal Krisis Ekonomi di Indonesia Sebagai introspeksi, harus kita akui bahwa krisis di Indonesia benar-benar tidak terduga datangnya, sama sekali tidak terprediksi sebelumnya. Seperti dikatakan oleh Furman dan Stiglitz (1998), bahwa di antara 34 negara bermasalah yang diambil sebagai percontoh (sample) penelitiannya, Indonesia adalah negara yang paling tidak diperkirakan akan terkena krisis bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya dalam percontoh, tersebut. Ketika Thailand mulai menunjukkan gejala krisis, orang umumnya percaya bahwa Indonesia tidak akan bernasib sama. Fundamental ekonomi Indonesia dipercaya cukup kuat untuk menahan kejut eksternal ( external shock ) akibat kejatuhan ekonomi Thailand.
Berikut ini 4 Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia tahun 1997-1998 :
1.      Stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah menciptakan kondisibagi “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk olehrasa percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri dibidang ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratanhutang swasta tersebut. Pemerintah selama ini selalu ekstra hati-hati dalam mengelola hutang pemerintah (atau hutang publik lainnya), dan senantiasa menjaganya dalam batas-batas yang dapat tertangani (manageable). Akan tetapi untuk hutang yang dibuat oleh sektor swasta Indonesia,pemerintah sama sekali tidak memiliki mekanisme pengawasan. Setelah krisis berlangsung, barulah disadari bahwa hutang swasta tersebut benar -benar menjadi masalah yang serius. Antara tahun 1992 sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari penambahan hutang luar negeri Indonesia berasal dari pinjaman swasta (World Bank, 1998). Hal ini mirip dengan yang terjadi di negara-negara lain di Asia yang dilanda krisis. Dalam banyak hal, boleh dikatakan bahwa negara telah menjadi korban dari keberhasilannya sendiri. Mengapa demikian? Karena kreditur asing tentu bersemangat meminjamkan modalnya kepada perusahaan-perusahaan (swasta) di negara yang memiliki inflasi rendah, memiliki surplus anggaran,mempunyai tenaga kerja terdidik dalam jumlah besar, memiliki sarana dan prasarana yang memadai, dan menjalankan sistem perdagangan terbuka. Daya tarik dari “ dynamic economies ini telah menyebabkan net capital inflows atau arus modal masuk (yang meliputi hutang jangka panjang,penanaman modal asing, dan equity purchases ) ke wilayah Asia Pasifik meningkat dari US$25 milyar pada tahun 1990 menjadi lebih dari US$110 milyar pada tahun 1996 (Greenspan 1997). Sayangnya, banyaknya modal yang masuk tersebut tidak cukup dimanfaatkan untuk sektor-sektor yang produktif, seperti pertanian atau industri, tetapi justru masuk ke pembiayaan konsumsi, pasar modal, dan khusus bagi Indonesia dan Thailand, ke sektor perumahan( real estate ). Di sektor-sektor ini memang terjadi ledakan (boom) karena sebagian dipengaruhi oleh arus modal masuk tadi, tetapi sebaliknya kinerja ekspor yang selama ini menjadi andalan ekonomi nasional justru mengalami perlambatan, akibatapresiasi nilai tukar yang terjadi, antara lain, karena derasnya arus modal yang masuk itu. Selain itu, hutang swasta tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi, tetapi lebih mengandalkan koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi bahwa negara akan ikut menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan. Lembaga keuangan membuat pinjaman atas dasar perhitungan aset yang telah “digelembungkan” yang pada gilirannya mendorong lagi terjadinya apresiasi lebih lanjut (Kelly and Olds 1999). Ini adalah akibat dari sistem yang sering disebut sebagai “ cronycapitalism ”.
Moral hazard dan penggelembungan aset tersebut, seperti dijelaskan oleh Krugman(1998), adalah suatu strategi “kalau untung aku yang ambil, kalau rugi bukan aku yang tanggung( heads I win tails somebody else loses)”. Ditengah pusaran ( virtous circle) yang semakin hari makin membesar ini, lembaga keuangan meminjam US dollar, tetapi menyalurkan pinjamannya dalam kurs lokal (Radelet andSachs 1998). Yang ikut memperburuk keadaan adalah batas waktu pinjaman ( maturity ) hutang swasta tersebut rata-rata makin pendek. Pada saat krisis terjadi, rata-rata batas waktu pinjaman sektor swasta adalah 18 bulan, dan menjelang Desember 1997 jumlah hutang yang harus dilunasi dalam tempo kurang dari satu tahun adalah sebesar US$20,7 milyar (WorldBank 1998).
2.      Terkait erat dengan masalah di atas, adalah banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut,masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri.Ketika liberalisasi sistem perbankan diberlakukan pada pertengahan tahun 1980-an, mekanisme pengendalian dan pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor perbankan. Yang lebih parah, hampir tidak ada penegakan hukum terhadap bank-bank yang melanggar ketentuan, khususnya dalam kasus peminjaman ke kelompok bisnisnya sendiri, konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu, dan pelanggaran kriteria layak kredit. Pada waktu yang bersamaan banyak sekali bank yang sesunguhnya tidak bermodal cukup (undercapitalized) atau kekurangan modal, tetapi tetap dibiarkan beroperasi. Semua ini berarti, ketika nilai rupiah mulai terdepresiasi, sistem perbankan tidak mampu menempatkan dirinya sebagai “peredam kerusakan”, tetapi justru menjadi korban langsung akibat neracanya yang tidak sehat.

3.      Sejalan dengan makin tidakjelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula. Hill (1999) menulis bahwa banyaknya pihak yang memiliki vested interest dengan intrik-intrik politiknya yang menyebar ke mana-mana telah menghambat atau menghalangi gerak pemerintah,untuk mengambil tindakan tegas di tengah krisis. Jauh sebelum krisis terjadi, invetor asing dan pelaku bisnis yang bergerak di Indonesia selalu mengeluhkan kurangnya transparansi, dan lemahnya perlindungan maupun kepastian hukum. Persoalan ini sering dikaitkan dengan tingginya “ biaya siluman” yang harus dikeluarkan bila orang melakukan kegiatan bisnis di sini.
      Anehnya, selama Indonesia menikmati economic boom persepsi negatif tersebut tidak terlalu menghambat ekonomi Indonesia. Akan tetapi begitu krisis menghantam, maka segala kelemahan itu muncul menjadi penghalang bagi pemerintah untuk mampu mengendalikan krisis. Masalah ini pulalah yang mengurangi kemampuan kelembagaan pemerintah untuk bertindak cepat, adil, danefektif. Akhirnya semua itu berkembang menjadi “krisis kepercayaan” yang ternyata menjadi penyebab paling utama dari segala masalah ekonomi yang dihadapi pada waktu itu. Akibat krisis kepercayaan itu, modal yang dibawa lari keluar tidak kunjung kembali, apalagi modal baru.

4.      Perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri. Faktor ini merupakan hal yang paling sulit diatasi. Kegagalan dalam mengembalikan stabilitas sosial-politik telah mempersulit kinerja ekonomi dalam mencapai momentum pemulihan secara mantap dan berkesinambungan.Meskipun persoalan perbankan dan   hutang swasta menjadi penyebab dari krisis ekonomi, namun, kedua faktor yang disebut terakhir di atas adalah penyebab lambatnya pemulihan krisis di Indonesia. Pemulihan ekonomi musykil, bahkan tidak mungkin dicapai, tanpa pulihnya kepercayaan pasar, dan kepercayaan pasar tidak mungkin pulih tanpa stabilitas politik dan adanya permerintahan yang terpercaya (credible).
       Tahun 1998 menjadi saksi bagi tragedi perekonomian bangsa. Keadaannya berlangsung sangat tragis dan tercatat sebagai periode paling suram dalam sejarah perekonomian Indonesia.Mungkin dia akan selalu diingat, sebagaimana kita selalu mengingat black Tuesday yang menandai awal resesi ekonomi dunia tanggal 29 Oktober 1929 yang juga disebut sebagai malaise.Hanya dalam waktu setahun, perubahan dramatis terjadi.Prestasi ekonomi yang dicapai dalam dua dekade, tenggelam begitu saja. Dia juga sekaligus membalikkan semua bayangan indah dan cerah di depan mata menyongsong milenium ketiga.Selama periode sembilan bulan pertama 1998,tak pelak lagi merupakan periode paling hiruk pikuk dalam perekonomian. Krisis yang sudah berjalan enam bulan selama tahun 1997,berkembang semakin buruk dalam tempo cepat. Dampak krisis pun mulai dirasakan secara nyata oleh masyarakat, dunia usaha.Dana Moneter Internasional (IMF) mulai turun tangan sejak Oktober 1997, namun terbukti tidak bisa segera memperbaiki stabilitas ekonomi danrupiah. Bahkan situasi seperti lepas kendali, bagai layang-layang yang putus talinya. Krisis ekonomi Indonesia bahkan tercatat sebagai yang terparah di Asia Tenggara.Seperti efek bola salju, krisis yang semula hanya berawal dari krisis nilai tukar bath di Thailand 2Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat berkembang menjadi krisis ekonomi, berlanjut lagi krisis sosial kemudian ke krisis politik.Akhirnya, dia juga berkembang menjadi krisis total yang melumpuhkan nyaris seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Katakan, sektor apa dinegara ini yang tidak goyah. Bahkan kursi atau tahta mantan Presiden Soeharto pun goyah, dan akhirnya dia tinggalkan. Mungkin Soeharto, selama sisa hidupnya akan mengutuk devaluasi baht, yang menjadi pemicu semua itu. Efek bola salju Faktor yang mempercepat efek bola salju ini adalah menguapnya dengan cepat kepercayaan masyarakat, memburuknya kondisi kesehatan Presiden Soeharto memasuki tahun1998, ketidakpastian suksesi kepemimpinan,sikap plin-plan pemerintah dalam pengambilan kebijakan.
Besarnya utang luar negeri yang segera jatuh tempo, situasi perdagangan internasional yang kurang menguntungkan, dan bencana alam LaNina yang membawa kekeringan terburuk dalam50 tahun terakhir.Dari total utang luar negeri per Maret 1998 yang mencapai 138 milyar dollar AS, sekitar 72,5 milyar dollar AS adalah utang swasta yang dua pertiganya jangka pendek, di mana sekitar 20 milyar dollar AS akan jatuh tempo dalam tahun 1998. Sementara pada saat itu cadangan devisa tinggal sekitar 14,44 milyar dollar AS. Terpuruknya kepercayaan ke titik nol membuat rupiah yang ditutup pada level Rp 4.850/dollar AS pada tahun 1997, meluncur dengan cepat kelevel sekitar Rp 17.000/dollar AS pada 22 Januari 1998, atau terdepresiasi lebih dari 80 persen sejak mata uang,tersebut diambangkan 14 Agustus 1997. Rupiah yang melayang, selain akibat meningkatnya permintaan dollar untuk membayar utang, juga sebagai reaksi terhadap angka-angka RAPBN 1998/ 1999 yang diumumkan 6 Januari1998 dan dinilai tak realistis.Krisis yang membuka borok-borok kerapuhan fundamental ekonomi ini dengan cepat merambah ke semua sektor. Anjloknya rupiah secara dramatis, menyebabkan pasar uang dan pasar modal juga rontok, bank-bank nasional dalam kesulitan besar dan peringkat internasional bank-bank besar bahkan juga surat utang pemerintah terus merosot ke level di bawah junk atau menjadi sampah. Puluhan, bahkan ratusan perusahaan, mulai dariskala kecil hingga konglomerat, bertumbangan.Sekitar 70persen lebih perusahaan yang tercatatdi pasar modal juga insolvent atau notabene bangkrut.
Sektor yang paling terpukul terutama adalah sektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan,sehingga melahirkan gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengangguran melonjak ke level yang belum pernah terjadi sejak akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan kerja. Akibat PHK dan naiknya harga-harga dengan cepat ini, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan juga meningkat mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk. Sementara si kaya sibuk menyerbu toko-toko sembako dalam suasana kepanikan luar biasa, khawatir harga akan terus melonjak.
Pendapatan per kapita yang mencapai 1.155dollar/kapita tahun 1996 dan 1.088 dollar/kapita tahun 1997, menciut menjadi 610 dollar/kapita tahun 1998, dan dua dari tiga penduduk Indonesia disebut Organisasi Buruh Internasional(ILO) dalam kondisi sangat miskin pada tahun 1999 jika ekonomi tak segera membaik. Data Badan Pusat Statistik juga menunjukkan,perekonomian yang masih mencatat pertumbuhan positif 3,4 persen pada kuartal ketiga 1997 dan nol persen kuartal terakhir 1997,terus menciut tajam menjadi kontraksi sebesar7,9 persen pada kuartal I 1998, 16,5 persen kuartal II 1998,dan 17,9 persen kuartal III 1998.Demikian pula laju inflasi hingga Agustus 1998 sudah 54,54 persen,dengan angka inflasi Februari mencapai 12,67 persen.Di pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan(IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) anjlok ke titik terendah, 292,12 poin, pada 15 September 1998,dari 467,339 pada awal krisis 1 Juli 1997.Sementara kapitalisasi pasar menciut drastis dari Rp 226 trilyun menjadi Rp 196 trilyun pada awal Juli 1998. Di pasar uang, dinaikkannya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi 70,8persen dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU)menjadi 60 persen pada Juli 1998 (dari masing-masing 10,87 persen dan 14,75 persen pada awalkrisis), menyebabkan kesulitan bank semakin memuncak. Perbankan mengalami negative spread dan tak mampu menjalankan fungsinya sebagai pemasok dana ke sektor riil. Disisi lain, sektor ekspor yang diharapkan bisa menjadi penyelamat di tengah krisis,ternyata sama terpuruknya dan tak mampu memanfaatkan momentum depresiasirupiah, akibat beban utang,ketergantungan besar pada komponen impor, kesulitan trade financing, dan persaingan ketat dipasar global.
                                                                                                                                                               

BAB III
ISI

3.1 KRISIS KEUANGAN ASIA DI INDONESIA
Krisis Keuangan Asia dimulai pada tanggal 2 Juli 1997 ketika pemerintah Thailand yang saat itu dibebani dengan utang luar negeri yang amat besar, memutuskan untuk mengambangkan mata uang baht setelah serangan yang dilakukan oleh para spekulan mata uang terhadap cadangan devisa negaranya. Pergeseran moneter ini bertujuan untuk merangsang pendapatan ekspor namun strategi ini terbukti sia-sia. Sehingga dengan cepat hal ini menimbulkan efek penularan ke negara-negara Asia lainnya karena investor asing - yang telah menanamkan uang mereka di 'Asian Economic Miracle countries' ('Ekonomi-Ekonomi Asia yang Ajaib’) sejak satu dekade sebelum tahun 1997 - kehilangan kepercayaan di pasar Asia dan membuang mata-mata uang dan aset-aset Asia secepat mungkin.

3.2 AWAL KRISIS MONETER  DI INDONESIA
Meskipun kawasan Asia menunjukkan tanda-tanda mengkhawatirkan, para investor asing awalnya tetap percaya pada kemampuan para teknokrat Indonesia untuk bertahan dalam badai krisis keuangan (seperti yang pernah mereka lakukan sebelumnya pada tahun 1970-an dan 1980-an). Tapi kali ini tidak dapat lepas dari krisis dengan mudah. Indonesia menjadi negara yang paling terpukul karena krisis ini tidak hanya berdampak terhadap ekonomi tetapi juga berdampak signifikan dan menyeluruh terhadap sistem politik dan keadaan sosial di Indonesia.
Seperti efek bola salju, krisis yang semula hanya berawal dari krisis nilai tukar Baht di Thailand 2 Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat berkembang menjadi krisis ekonomi, berlanjut lagi krisis sosial kemudian ke krisis politik. Pada saat  mata uang baht Thailand mulai melemah terhadap dollar AS maka dua puluh hari kemudian, 21 Juli 1997 pelemahan baht tersebut menular ke Indonesia, Rupiah melemah 7 persen terhadap dollar AS. Pada 1 September 1997, pemerintah mengumumkan paket kebijakan ekonomi untuk meresponsnya.
Pada saat tekanan terhadap rupiah Indonesia akhirnya terlalu kuat, rupiah diputuskan untuk diambangkan bebas (float freely) sejak bulan Agustus 1997. Dan sejak saat itu mulailah terjadi depresiasi yang sangat signifikan. Pada tanggal 1 Januari 1998, nilai nominal rupiah hanya 30 persen dari nilai yang pernah dicapai pada bulan Juni 1997. Pada tahun-tahun sebelum tahun 1997 banyak perusahaan swasta di Indonesia yang memperoleh pinjaman luar negeri jangka pendek yang tidak dilindungi terhadap gejolak nilai tukar (unhedged) dalam mata uang dolar, dan utang sektor swasta yang sangat besar ini ternyata menjadi bom waktu yang menunggu untuk meledak. Berlanjutnya depresiasi rupiah hanya memperburuk situasi secara drastis.
Perusahaan-perusahaan di Indonesia berlomba-lomba membeli dolar sehingga menimbulkan lebih banyak tekanan terhadap rupiah dan memperburuk situasi utang yang dimiliki oleh para perusahaan. Dapat dipastikan bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia (termasuk bank-bank, beberapa di antaranya diketahui sangat lemah) akan menderita kerugian yang amat besar. Persediaan devisa menjadi langka karena pinjaman-pinjaman baru untuk perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak diberikan oleh kreditur asing. Karena tidak mampu mengatasi krisis ini maka pemerintah Indonesia memutuskan untuk mencari bantuan keuangan dari Dana Moneter Internasional (IMF) pada bulan Oktober 1997.

IMF DATANG TAPI KEKACAUAN MASIH TETAP BERLANGSUNG 
Pada 8 Oktober, pemerintah meminta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF). Dua puluh hari kemudian, 28 Oktober, pasar modal anjlok, yang dikenal sebagai ”Selasa Hitam”. Pada 31 Oktober, pemerintah menandatangani perjanjian dengan IMF berikut fasilitas pinjaman siaga 38 miliar dollar AS. Tindak lanjut dari kesepakatan itu, 16 bank dilikuidasi pada 1 November. Pada 3 November, pemerintah kembali mengumumkan paket kebijakan ekonominya.
IMF tiba di Indonesia dengan paket bailout sebesar USD $43 milyar untuk memulihkan kepercayaan pasar terhadap rupiah Indonesia. Sebagai imbalannya IMF menuntut beberapa langkah-langkah reformasi keuangan yang mendasar: penutupan 16 bank swasta, penurunan subsidi pangan dan energi, dan menyarankan agar Bank Indonesia untuk menaikkan suku bunga. Akan tetapi paket reformasi ini ternyata gagal. Likuidasi 16 bank pada 1 November (beberapa diantaranya dikendalikan oleh kroni Presiden Suharto memicu penarikan dana besar-besaran pada bank-bank lain. Milyaran rupiah ditarik dari tabungan, sehingga membatasi kemampuan bank untuk memberikan pinjaman dan memaksa Bank Indonesia untuk memberikan kredit dalam jumlah besar kepada bank-bank yang masih ada untuk mencegah krisis perbankan yang semakin parah. 
Selain itu, IMF tidak pernah berusaha untuk mengekang sistem patronase yang dimiliki Suharto dan yang merusak perekonomian negara dan juga merusak program IMF. Sistem patronase ini adalah alat yang dijalankan oleh Suharto untuk mempertahankan kekuasaan; dalam imbalan atas dukungan politik dan keuangan dia memberikan jabatan yang kuat kepada para keluarga, teman dan musuh (sehingga menjadi kroni). Perkembangan lain yang berdampak negatif terhadap Indonesia menjelang akhir tahun 1997 adalah kekeringan parah yang disebabkan oleh El Nino (sehingga menyebabkan kebakaran hutan dan hasil panen yang buruk) dan peningkatan spekulasi tentang memburuknya kesehatan Suharto (sehingga menyebabkan adanya ketidakpastian politik). Maka, secara bertahap, Indonesia sedang menuju terjadinya krisis politik.
Kesepakatan kedua dengan IMF diperlukan karena ekonomi masih tetap saja memburuk. Pada bulan Januari 1998 rupiah kehilangan setengah nilainya hanya dalam rentang waktu lima hari saja dan ini menyebabkan masyarakat berusaha menimbun makanan. Kesepakatan kedua dengan IMF ini berisi 50 pokok program reformasi, termasuk pemberian jaring pengaman sosial, penghapusan secara perlahan subsidi-subsidi tertentu untuk masyarakat dan menghentikan sistem patronase Suharto dengan cara mengakhiri monopoli yang dijalankan oleh sejumlah kroninya. Namun, keengganan Suharto untuk melaksanakan program reformasi struktural ini dengan patuh justru menambah buruk situasi. Di sisi lain IMF dikritik karena dinilai terlalu memaksakan banyak program reformasi dalam waktu yang terlalu singkat sehingga memperburuk perekonomian Indonesia. IMF memang membuat kesalahan pada saat melakukan pendekatan awal dalam krisis Indonesia namun lembaga ini akhirnya menyadari bahwa kunci utama untuk mengatasi krisis adalah untuk memulai kembali aliran modal swasta ke Indonesia. Agar hal ini terwujud maka sistem patronase harus dipecah.

PDB dan Inflasi Indonesia 1996-1998:

   1996
   1997
   1998
 Pertumbuhan PDB
 (persentase perubahan tahunan)
    8.0
    4.7
  -13.6
 Pertumbuhan Inflasi
 (persentase perubahan tahunan)
    6.5
   11.6
   65.0
Sumber: Hill, H. (2000). The Indonesian Economy, h. 264

Kesepakatan ketiga dengan IMF ditandatangani pada bulan April 1998. Perekonomian Indonesia dan indikator-indikator sosial masih menunjukkan tanda-tanda mengkhawatirkan. Namun kali ini IMF lebih fleksibel dalam tuntutannya dibandingkan sebelumnya. Misalnya, subsidi pangan yang besar untuk rumah tangga berpenghasilan rendah diberikan dan defisit anggaran dibiarkan melebar. Akan tetapi IMF juga menyerukan privatisasi perusahaan milik negara, tindakan cepat untuk melakukan restrukturisasi perbankan, pembuatan hukum kepailitan baru dan pengadilan baru untuk menangani kasus-kasus kepailitan. IMF juga bersikeras untuk terlibat lebih dekat dalam memantau pelaksanaan program-programnya karena pengalaman yang lalu menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia tidak sepenuhnya berkomitmen untuk melaksanakan agenda reformasi.
Pokok-pokok dari program IMF adalah sebagai berikut:
1.      Kebijakan makro-ekonomi
1)      Kebijakan fiscal
2)      Kebijakan moneter dan nilai tukar
2.      Restrukturisasi sektor keuangan
1)      Program restrukturisasi bank
2)       Memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan
3.      Reformasi structural
1)      Perdagangan luar negeri dan investasi
2)      Deregulasi dan swastanisasi
3)      Social safety net
4)      Lingkungan hidup.
Setelah pelaksanaan reformasi kedua ini kembali menghadapi berbagai hambatan, maka diadakanlah negosiasi ulang yang menghasilkan supplementary memorandum pada tanggal 10 April 1998 yang terdiri atas 20 butir, 7 appendix dan satu matriks. Cakupan memorandum ini lebih luas dari kedua persetujuan sebelumnya, dan aspek baru yang masuk adalah penyelesaian utang luar negeri perusahaan swasta Indonesia. Jadwal pelaksanaan masing-masing program dirangkum dalam matriks komitmen kebijakan struktural. Strategi yang akan dilaksanakan adalah:
1.      menstabilkan rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia;
2.      memperkuat dan mempercepat restrukturisasi sistim perbankan;
3.      memperkuat implementasi reformasi struktural untuk membangun ekonomi yang efisien dan berdaya saing;
4.      menyusun kerangka untuk mengatasi masalah utang perusahaan swasta;
5.      kembalikan pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga ekspor bisa bangkit kembali.
Ke tujuh appendix adalah masing-masing:
1)      Kebijakan moneter dan suku bunga
2)      Pembangunan sektor perbankan
3)      Bantuan anggaran pemerintah untuk golongan lemah
4)      Reformasi BUMN dan swastanisasi
5)      Reformasi structural
6)      Restrukturisasi utang swasta
7)      Hukum Kebangkrutan dan reformasi yuridis.
Prioritas utama dari program IMF ini adalah restrukturisasi sektor perbankan. Pemerintah akan terus menjamin kelangsungan kredit murah bagi perusahaan kecilmenengah dan koperasi dengan tambahan dana dari anggaran pemerintah (butir 16 dan 20 dari Suplemen). Awal Mei 1998 telah dilakukan pencairan kedua sebesar US$ 989,4 juta dan jumlah yang sama akan dicairkan lagi berturut-turut awal bulan Juni dan awal bulan Juli, bila pemerintah dengan konsekuen melaksanakan program IMF. Sementara itu Menko Ekuin/ Kepala Bappenas menegaskan bahwa “Dana IMF dan sebagainya memang tidak kita gunakan untuk intervensi, tetapi untuk mendukung neraca pembayaran serta memberi rasa aman, rasa tenteram, dan rasa kepercayaan terhadap perekonomian bahwa kita memiliki cukup devisa untuk mengimpor dan memenuhi kewajiban-kewajiban luar negeri” (Kompas, 6 Mei 1998). Pencairan berikutnya sebesar US$ 1 milyar yang dijadwalkan awal bulan Juni baru akan terlaksana awal bulan September ini.
KRITIK TERHADAP IMF           
Banyak kritik yang dilontarkan oleh berbagai pihak ke alamat IMF dalam hal menangani krisis moneter di Asia, yang paling umum adalah bahwa:
1)      program IMF terlalu seragam, padahal masalah yang dihadapi tiap negara tidak seluruhnya sama; dan
2)      program IMF terlalu banyak mencampuri kedaulatan negara yang dibantu (Fischer, 1998b).
Radelet dan Sachs secara gamblang menyatakan bahwa bantuan IMF kepada tiga negara Asia (Thailand, Korea dan Indonesia) telah gagal. Setelah melihat program penyelematan IMF di ketiga negara tersebut, timbul kesan yang kuat bahwa IMF sesungguhnya tidak menguasai permasalahan dari timbulnya krisis, sehingga tidak bisa keluar dengan program penyelamatan yang tepat. Salah satu pemecahan standar IMF adalah menuntut adanya surplus dalam anggaran belanja negara, padahal dalam hal Indonesia anggaran belanja negara sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 hampir selalu surplus, meskipun surplus ini ditutup oleh bantuan luar negeri resmi pemerintah. Adalah kebijakan dari Orde Baru untuk menjaga keseimbangan dalam anggaran belanja negara, dan prinsip ini terus dipegang. Selama ini tidak ada pencetakan uang secara besar-besaran untuk menutup anggaran belanja negara yang defisit, dan tidak ada tingkat inflasi yang melebihi 10%. Memang dalam anggaran belanja negara tahun 1998/1999 terdapat defisit anggaran yang besar, namun ini bukan disebabkan karena kebijakan deficit financing dari pemerintah, tetapi oleh karena nilai tukar rupiah yang terpuruk terhadap dollar AS. Semakin jatuh nilai tukar rupiah, semakin besar defisit yang terjadi dalam anggaran belanja. Karena itu pemecahan utamanya adalah bagaimana mengembalikan nilai tukar rupiah ke tingkat yang wajar.
J. Stiglitz, pemimpin ekonom Bank Dunia, mengkritik bahwa prakondisi IMF yang teramat ketat terhadap negara-negara Asia di tengah krisis yang berkepanjangan berpotensi menyebabkan resesi yang berkepanjangan. Kemudian berlakunya praktek apa yang dinamakan “konsensus Washington”, yaitu negara pengutang lazimnya harus mendapatkan restu pendanaan dari pemerintah AS, yang pada dasarnya hanya memperluas kesempatan ekonomi AS. (Kompas, 13 Mei 1998). Kabar terakhir menyebutkan bahwa pencairan bantuan tahap ketiga awal Juni ni akan tertunda lagi atas desakan pemerintah AS yang dikaitkan dengan perkembangan reformasi politik di Indonesia, dan ini akan menunda cairnya bantuan dari sumber-sumber lain (Hartcher dan Ryan).
Anwar Nasution mengkritik bahwa reformasi ekonomi yang disarankan IMF bentuknya masih samar-samar. Tidak ada penjelasan rinci, bagaimana caranya untuk meningkatkan penerimaan pemerintah dan mengurangi pengeluaran pemerintah untuk mencapai sasaran surplus anggaran sebesar 1% dari PDB dalam tahun fiskal 1998/99, dan bagaimana ingin dicapai sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar 3%. Harapan satu-satunya adalah peningkatan ekspor non-migas, namun kelemahan utama dari IMF adalah tidak ada program yang jelas untuk meningkatkan efisiensi dan menurunkan biaya produksi untuk mendorong ekspor non-migas. (Nasution: 27-28).
Penasehat khusus IMF untuk Indonesia (P.R. Narvekar) sendiri juga dikutip sebagai mengatakan bahwa “IMF kerap menerapkan standar ganda dalam pengambilan keputusan. Di satu pihak, perwakilan IMF mewakili negara dan pemerintahan dengan kebijakan dan visi politik masing-masing, sementara keputusan yang diambil harus mengacu pada fakta konkret ekonomi. Karenanya, ada saja peluang bahwa tudingan atas pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang makin marak belakangan ini, menjadi hal yang disoroti Dewan Direktur IMF dalam pengambilan keputusannya pekan depan”. Demikianpun halnya dengan Bank Dunia. (Kompas, 2 Mei 1998).
Sri Mulyani mengemukakan, bahwa di bidang kebijaksanaan makro IMF tidak memperlihatkan adanya konsistensi antarinstrumen kebijaksanaan. Di satu pihak IMF memberikan kelenturan dengan mengizinkan dipertahankannya subsidi dan menyediakan dana untuk menciptakan jaringan keselamatan sosial, sedang di lain pihak menganut kebijaksanaan moneter yang kontraktif. Kedua kebijaksanaan ini bisa memandulkan efektivitas kebijaksanaan makro, terutama dalam rangka stabilitas nilai tukar dan inflasi. (Sri Mulyani: 72). “Secara makro ancaman kegagalan terbesar kesepakatan ketiga ini berasal dari kebijaksanaan moneter yang masih ambivalen, karena keharusan BI melakukan fungsi lender of last resort bagi perbankan nasional, yang bertentangan dengan tema pengetatan, juga ketidak sejalanan kebijaksanaan moneter dan fiskal” (Sri Mulyani: 72).
Saran IMF menutup sejumlah bank yang bermasalah untuk menyehatkan sistim perbankan Indonesia pada dasarnya adalah tepat, karena cara pengelolaan bank yang amburadul dan tidak mengikuti peraturan, namun dampak psikologisnya dari tindakan ini tidak diperhitungkan. Masyarakat kehilangan kepercayaan kepada otoritas moneter, Bank Indonesia dan perbankan nasional, sehingga memperparah keadaan dan masyarakat beramai-ramai memindahkan dananya dalam jumlah besar ke bank-bank asing dan pemerintah atau ditaruh di rumah, yang menimbulkan krisis likuiditas perbankan nasional yang gawat. Hal ini juga diakui oleh IMF (butir 14, 15 dan 24 dari persetujuan IMF tanggal 15 Januari 1998).
Pertanyaan mendasar yang harus ditujukan kepada IMF menurut penulis adalah sejauh mana IMF bersungguh-sungguh dalam hal membantu mengatasi krisis ekonomi yang sedang melanda Indonesia dewasa ini? Apakah sama seperti kesungguhan Amerika Serikat ketika membantu Meksiko bersama-sama dengan IMF dan negara-negara maju lainnya yang berhasil menggalang sebesar hampir US$ 48 milyar Januari 1995? Setelah mencapai titik terendah tahun 1995, perekonomian Meksiko dengan cepat pada tahun 1996 dapat bangkit kembali. Rencana IMF untuk mencairkan bantuannya secara bertahap dalam jarak waktu yang cukup jauh menunjukkan bahwa IMF menekan Indonesia untuk menjalankan programnya secara ketat dan membiarkan keadaan ekonomi Indonesia terus merosot menuju resesi yang berkepanjangan. Dengan menahan pencairan bantuan tahap kedua dan setelah diundur, hanya dicicil US$ 1 milyar dari jumlah US$ 3 milyar, ditambah jarak yang cukup lama antara paket bantuan pertama dan kedua, menyulitkan pemulihan ekonomi Indonesia secara cepat, menghilangkan kepercayaan terhadap rupiah, bahkan memperparah keadaan. Karena badan internasional lain dan negara-negara sahabat yang menjanjikan bantuan juga menunggu signal dari IMF, berhubung semua bantuan tambahan yang besarnya mencapai US$ 27 milyar dikaitkan dengan cairnya bantuan IMF. Di lain pihak, kita juga perlu berterima kasih kepada IMF karena dengan menunda mencairkan bantuannya, IMF sedikit banyak mempunyai andil dalam perjuangan menggulirkan tuntutan reformasi politik, ekonomi dan hukum di Indonesia yang pada akhirnya bermuara pada mundurnya Presiden Soeharto.
Saran IMF untuk menstabilkan nilai tukar adalah dengan menerapkan kebijakan uang ketat, menaikkan suku bunga dan mengembalikan kepercayaan terhadap kebijakan ekonomi, dari waktu ke waktu mengadakan intervensi terbatas di pasar valas dengan petunjuk IMF (lihat butir 14, 16, 17, 21 dari persetujuan 15 Januari 1998; butir 5, 7 dari Suplemen). Sayangnya tidak ada program khusus yang secara langsung ditujukan untuk menguatkan kembali nilai tukar rupiah, juga tidak ada Appendix untuk masalah ini. IMF tidak memecahkan permasalahan yang utama dan yang paling mendesak secara langsung. IMF bisa saja terlebih dahulu mengambil kebijakan memprioritaskan stabilisasi nilai tukar rupiah, kalau mau, dengan mencairkan dana bantuan yang relatif besar pada bulan November lalu, yang didukung oleh bantuan dana dari World Bank, Asian Development Bank dan negara-negara sahabat. Dengan demikian timbulnya krisis kepercayaan yang berkepanjangan dapat dicegah. IMF sendiri tampaknya tidak tahu apa yang harus dilakukannya dan berputarputar pada kebijakan surplus anggaran, uang ketat, tingkat bunga tinggi, pembenahan sektor riil yang memang perlu dan sudah sangat mendesak, dan titipan-titipan khusus dari negaranegara maju yaitu membuka peluang investasi yang seluas-luasnya bagi mereka dengan menggunakan kesempatan dalam kesempitan Indonesia.
Di lain pihak memang harus diakui bahwa tekanan ini perlu untuk memastikan kesungguhan Indonesia, karena untuk beberapa tindakan memang ada tanda-tanda kekurang sungguhan di pihak Indonesia. Tidak adanya program dari IMF yang jelas dan berjangka pendek untuk mengembalikan nilai tukar rupiah ke tingkat yang wajar dan menstabilkannya membuat pemerintah cukup lama terombang-ambing antara memilih program IMF atau currency board system, yang justru menjanjikan kepastian dan kestabilan nilai tukar pada tingkat yang wajar.
Krisis ekonomi yang tengah berlangsung ini memang bukan tanggung-jawab IMF dan tidak bisa dipecahkan oleh IMF sendiri. Namun kekurangan yang paling utama dari IMF adalah bahwa IMF dalam program bantuannya tidak mencari pemecahan terhadap masalah yang pokok dan sangat mendesak ini dan berputar-putar pada reformasi struktural yang dampaknya jangka panjang. Bila semua kekuatan bantuan ini dikumpulkan sekaligus secara dini, maka hal ini dengan cepat akan memulihkan kembali kepercayaan masyarakat dalam negeri dan internasional. Namun bantuan dana IMF dan ketergantungan harapan pada IMF ini disalahgunakan untuk menekan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan reformasi struktural secara besar-besaran. Ibaratnya orang yang sudah hampir tenggelam diombang-ambing ombak laut tidak segera ditolong dengan dilempari pelampung, tapi disuruh belajar berenang dahulu.
Reformasi struktural sebagaimana yang dianjurkan oleh IMF memang mendasar dan penting, tetapi dampak hasilnya baru bisa dirasakan dalam jangka panjang, sementara pemecahan masalahnya sudah sangat mendesak, di mana makin ditunda makin banyak perusahaan yang jatuh bergelimpangan. Banyak perusahaan yang mengandalkan pasaran dalam negeri tidak bisa menjual barang hasil produksinya karena perusahaan-perusahaan ini umumnya memiliki kandungan impor yang tinggi dan harga jualnya menjadi tidak terjangkau dengan semakin jatuhnya nilai tukar rupiah. Jadi, utang luar negeri swasta dan nilai tukar rupiah yang merosot jauh dari nilai riilnya adalah masalah-masalah dasar jangka pendek, yang lama tidak disinggung oleh IMF.
Di sini timbul keragu-raguan akan kemurnian kebijakan reformasi IMF, sehingga timbul teka-teki, apakah IMF benar-benar tidak melihat inti permasalahannya atau berpura-pura tidak tahu? Atau IMF mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk memaksakan perubahan-perubahan yang sudah lama menjadi duri di matanya dan bagi Bank Dunia serta mewakili kepentingan-kepentingan asing? Tampaknya di balik anjuran program pemulihan kegiatan ekonomi ada titipan-titipan politik dan ekonomi dari negara-negara besar tertentu. Program reformasi IMF secara mencurigakan mengulang kembali tuntutan-tuntutan deregulasi ekonomi yang sudah sejak bertahun-tahun didengungkan oleh Bank Dunia dan belum sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia. Permintaan IMF untuk menghentikan dengan segera perlakuan pembebasan pajak dan kemudahan kredit untuk proyek mobil nasional dan IPTN adalah tepat, karena dalam jangka pendek proyek ini akan mengacaukan kebijakan pemerintah di bidang fiskal, anggaran dan moneter secara berarti. Juga saran IMF untuk menghapuskan subsidi BBM dan listrik yang kian membesar secara bertahap dalam jangka waktu tiga tahun sudah benar. Subsidi listrik relatif lebih mudah untuk dihapuskan, yakni melalui subsidi silang sehingga masyarakat berpenghasilan rendah tetap dikenakan tarif listrik yang murah dan melalui peningkatan efisiensi, misalnya penagihan yang lebih efektif.
Namun penurunan subsidi BBM dan listrik oleh pemerintah secara drastis dan mendadak pada tanggal 4 Mei 1998 yang lalu mempunyai dampak yang sangat luas terhadap perekonomian rakyat kecil, meskipun kepentingan rakyat kecil sangat diperhatikan dengan adanya jaringan keselamatan sosial. Tindakan drastis ini sedikit-banyak telah membantu memicu terjadinya kerusuhan-kerusuhan sosial dan politik. Yang menjadi pertanyaan di sini adalah, apakah pemerintah tidak bisa menunda kenaikan BBM dan listrik untuk beberapa bulan, menunggu keresahan masyarakat reda? Di sini pemerintah salah membaca isi dari kesepakatan dengan IMF, karena IMF menganjurkan penghapusan subsidi secara bertahap dan tidak secara mendadak. Dalam suplemen program IMF April 1998 disebutkan bahwa subsidi masih bisa diberikan kepada beberapa jenis barang yang banyak dikonsumsi oleh penduduk berpenghasilan rendah seperti bahan makanan, BBM dan listrik. Dalam situasi sekarang hampir tidak ada peluang untuk meningkatkan pajak. Baru pada tanggal 1 Oktober 1998 direncanakan subsidi akan diturunkan secara berarti. (butir 10 dan 11 dari Suplemen). Subsidi untuk bahan pangan, BBM dan listrik sudah diperhitungkan dan dinaikkan dalam anggaran pemerintah (butir 20 dari Suplemen).
Membengkaknya subsidi ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kinerja yang kurang efisien, tagihan listrik dalam jumlah besar yang tidak dibayar, tetapi sebab utama karena merosotnya nilai tukar rupiah. Jadi tindakan yang pokok adalah pertama mengembalikan dulu nilai rupiah ke tingkat yang wajar dan dari sini baru menghitung besarnya subsidi. Tidak bisa biaya produksi dihitung atas dasar nilai tukar dengan dollar AS yang masih relatif tinggi lalu dibebankan kepada konsumen, sementara pendapatan masyarakat adalah dalam rupiah yang tidak berubah sejak sebelum terjadinya krisis moneter, kalau tidak menurun dan banyaknya PHK. Keadaan ini tidak sebanding, kita harus melihat sebab-sebab lain di balik kenaikan biaya produksi. Halnya akan lain, bila pendapatan masyarakat dalam rupiah juga ikut naik dua atau tiga kali lipat sesuai dengan kenaikan nilai tukar dollar AS, seperti orang asing yang tinggal di Indonesia misalnya.
Dalam kaitan ini perlu dipertanyakan, siapa yang menjadi penyebab dari terjadinya krisis yang berkepanjangan ini, sehingga nilai tukar valas naik sangat tinggi dan siapa yang menarik keuntungan dari krisis ini? Janganlah rakyat banyak diminta untuk berkorban mengatasi krisis ini atau membebankan di atas penderitaan rakyat dengan misalnya menaikkan harga BBM dan tarif listrik.
Di antara saran-saran IMF juga ada yang mengenai perluasan penyertaan modal asing dalam kegiatan ekonomi Indonesia yang terlalu jauh. Modal asing sudah diberi peluang yang cukup besar untuk investasi di Indonesia dengan diperbolehkannya kepemilikan hingga 100% baik untuk pendirian PMA, bank asing maupun penguasaan saham dari perusahaan-perusahaan yang telah go public, kecuali saham bank nasional yang go public. Meskipun demikian IMF masih meminta dihapuskannya larangan membuka cabang bagi bank asing, izin investasi di bidang perdagangan besar dan eceran, dan liberalisasai perdagangan yang jauh lebih liberal dari komitmen resmi pemerintah di forum WTO, AFTA dan APEC. Masalahnya bukan sentimen nasionalisme, tetapi apa sumbangan dari keterbukaan ini terhadap restrukturisasi ekonomi dari program IMF, stabilisasi ekonomi dan moneter, dan apa sumbangannya terhadap pemasukan modal asing? Bukan masalah anti asing atau sentimen nasionalisme yang sempit, tetapi apa salahnya bila pemerintah menyisakan bidang kegiatan untuk pengusaha Indonesia, terutama yang bermodal kecil? Apa permintaan IMF ini tidak terlalu jauh? Kedengarannya seperti IMF menerima titipan pesan sponsor dari negara-negara besar yang ingin memaksakan kepentingannya dengan menggunakan kesempatan dalam kesempitan.
Saran IMF lainnya yang disisipkan dalam persetujuan dan tidak ada kaitannya dengan program stabilisasi ekonomi dan moneter adalah desakannya untuk menyusun Undang- Undang Lingkungan Hidup yang baru (butir 50 dari persetujuan IMF tanggal 15 Januari 1998). Ikut campurnya IMF dalam penyelesaian utang swasta adalah sangat baik, karena IMF sebagai lembaga yang disegani bisa banyak membantu memulihkan kepercayaan kreditor luar negeri, yang akan memperlancar dan mempercepat proses penyelesaian utang. IMF bisa bertindak sebagai perantara yang netral dan dipercaya.



KRISIS MENCAPAI PUNCAKNYA
Sementara itu, kekuatan-kekuatan sosial utama juga sedang bekerja. Aksi demonstrasi dan kritik yang ditujukan terhadap pemerintah Suharto semakin meningkat setelah ia terpilih kembali sebagai presiden dan membentuk kabinet baru pada bulan Maret 1998. Kabinet baru yang provokatif ini berisi sejumlah anggota yang berasal dari kelompok kroninya dan oleh karenanya tidak mampu berbuat banyak untuk memulihkan kepercayaan terhadap pasar Indonesia. Setelah pemerintah memutuskan untuk mengurangi subsidi BBM pada awal bulan Mei, kerusuhan berskala besar terjadi di Medan, Jakarta dan Solo. Meskipun IMF telah memberikan waktu kepada Suharto sampai dengan Oktober untuk mengurangi subsidi secara bertahap, ia memutuskan untuk melakukan semuanya sekaligus, mungkin karena terlalu meremehkan dampaknya atau terlalu percaya diri dengan kekuasaannya sendiri. Ketegangan mencapai puncaknya setelah empat orang mahasiswa Indonesia tewas pada waktu melakukan demonstrasi di sebuah universitas lokal di Jakarta. Diduga penembakan tersebut dilakukan oleh pasukan tentara khusus ('tragedi Trisakti'). Beberapa hari berikutnya Jakarta dilanda kerusuhan sangat buruk. Seperti yang pernah terjadi sebelumnya, etnis Tionghoa - yang sudah lama dibenci karena dianggap kaya - banyak menjadi sasaran dalam kerusuhan ini. Toko-toko dan rumah-rumah milik warga Tionghoa dibakar dan banyak perempuan China diperkosa secara brutal. Setelah kerusuhan redam, lebih dari seribu orang tewas dan ribuan bangunan hancur. Pada tanggal 14 Mei 1998 Soeharto mengundurkan diri dari kursi kepresidenan ketika semua politisi menolak untuk bergabung dengan kabinetbaru yang dibentuknya. Krisis keuangan telah sepenuhnya berubah menjadi krisi sosial dan politik.
3.3 PENYEBAB KRISIS  EKONOMI
Krisis moneter ini terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia . Yang dimaksud dengan fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat pengangguran relatif rendah, neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun defisit neraca berjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih terkendali, cadangan devisa masih cukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus. Namun di balik ini terdapat beberapa kelemahan struktural seperti peraturan perdagangan domestik yang kaku dan berlarut-larut, monopoli impor yang menyebabkan kegiatan ekonomi tidak efisien dan kompetitif. Pada saat yang bersamaan kurangnya transparansi dan kurangnya data menimbulkan ketidak pastian sehingga masuk dana luar negeri dalam jumlah besar melalui sistim perbankan yang lemah. Sektor swasta banyak meminjam dana dari luar negeri yang sebagian besar tidak di hedge. Dengan terjadinya krisis moneter, terjadi juga krisis kepercayaan. Namun semua kelemahan ini masih mampu ditampung oleh perekonomian nasional. Yang terjadi adalah, mendadak datang badai yang sangat besar, yang tidak mampu dibendung oleh tembok penahan yang ada, yang selama bertahun-tahun telah mampu menahan berbagai terpaan gelombang yang datang mengancam.
Penyebab dari krisis ini bukanlah fundamental ekonomi Indonesia yang selama ini lemah, hal ini dapat dilihat dari data-data statistik di atas, tetapi terutama karena utang swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah sektor rupiah dalam negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yang mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya1 . Krisis yang berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang sangat tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan secara bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar. Seandainya tidak ada serbuan terhadap dollar AS ini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi Indonesia tidak akan mengalami krisis. Dengan lain perkataan, walaupun distorsi pada tingkat ekonomi mikro ini diperbaiki, tetapi bila tetap ada gempuran terhadap mata uang rupiah, maka krisis akan terjadi juga, karena cadangan devisa yang ada tidak cukup kuat untuk menahan gempuran ini. Krisis ini diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai faktor penyebab lainnya yang datangnya saling bersusulan. Analisis dari faktor-faktor penyebab ini penting, karena penyembuhannya tentunya tergantung dari ketepatan diagnosa.
Anwar Nasution melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar negeri, ditambah dengan lemahnya sistim perbankan nasional sebagai akar dari terjadinya krisis finansial (Nasution: 28). Bank Dunia melihat adanya empat sebab utama yang bersamasama membuat krisis menuju ke arah kebangkrutan Akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992 hingga Juli 1997, sehingga l.k. 95% dari total kenaikan utang luar negeri berasal dari sektor swasta ini, dan jatuh tempo rata-ratanya hanyalah 18 bulan. Bahkan selama empat tahun terakhir utang luar negeri pemerintah jumlahnya menurun.
1.      Kelemahan pada sistim perbankan.
2.      Masalah governance, termasuk kemampuan pemerintah menangani dan mengatasi krisis, yang kemudian menjelma menjadi krisis kepercayaan dan keengganan donor untuk menawarkan bantuan finansial dengan cepat.
3.      Ketidak pastian politik menghadapi Pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan Presiden Soeharto pada waktu itu.
Sementara menurut penilaian penulis, penyebab utama dari terjadinya krisis yang berkepanjangan ini adalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang sangat tajam, meskipun ini bukan faktor satu-satunya, tetapi ada banyak faktor lainnya yang berbeda menurut sisi pandang masing-masing pengamat. Berikut ini diberikan rangkuman dari berbagai faktor tersebut menurut urutan kejadiannya:
1.      Dianutnya sistim devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai, memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas berapapun jumlahnya. Kondisi di atas dimungkinkan, karena Indonesia menganut rezim devisa bebas dengan rupiah yang konvertibel, sehingga membuka peluang yang sebesarbesarnya untuk orang bermain di pasar valas. Masyarakat bebas membuka rekening valas di dalam negeri atau di luar negeri. Valas bebas diperdagangkan di dalam negeri, sementara rupiah juga bebas diperdagangkan di pusat-pusat keuangan di luar negeri.
2.      Tingkat depresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993) hingga 5,8% (1991) antara tahun 1988 hingga 1996, yang berada di bawah nilai tukar nyatanya, menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat overvalued. Ditambah dengan kenaikan pendapatan penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya relatif lebih cepat dari kenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah, dan produk dalam negeri yang makin lama makin kalah bersaing dengan produk impor. Nilai Rupiah yang overvalued berarti juga proteksi industri yang negatif. Akibatnya harga barang impor menjadi relatif murah dan produk dalam negeri relatif mahal, sehingga masyarakat memilih barang impor yang kualitasnya lebih baik. Akibatnya produksi dalam negeri tidak berkembang, ekspor menjadi kurang kompetitif dan impor meningkat. Nilai rupiah yang sangat overvalued ini sangat rentan terhadap serangan dan permainan spekulan, karena tidak mencerminkan nilai tukar yang nyata.
3.      Akar dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya (bandingkan juga Wessel et al.: 22), ditambah sistim perbankan nasional yang lemah. Akumulasi utang swasta luar negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah mencapai jumlah yang sangat besar, bahkan sudah jauh melampaui utang resmi pemerintah yang beberapa tahun terakhir malah sedikit berkurang (oustanding official debt). Ada tiga pihak yang bersalah di sini, pemerintah, kreditur dan debitur.
Kesalahan pemerintah adalah, karena telah memberi signal yang salah kepada pelaku ekonomi dengan membuat nilai rupiah terus-menerus overvalued dan suku bunga rupiah yang tinggi, sehingga pinjaman dalam rupiah menjadi relatif mahal dan pinjaman dalam mata uang asing menjadi relatif murah. Sebaliknya, tingkat bunga di dalam negeri dibiarkan tinggi untuk menahan pelarian dana ke luar negeri dan agar masyarakat mau mendepositokan dananya dalam rupiah. Jadi di sini pemerintah dihadapi dengan buah simalakama. Keadaan ini menguntungkan pengusaha selama tidak terjadi devaluasi dan ini terjadi selama bertahun-tahun sehingga memberi rasa aman dan orang terus meminjam dari luar negeri dalam jumlah yang semakin besar. Dengan demikian pengusaha hanya bereaksi atas signal yang diberikan oleh pemerintah. Selain itu pemerintah sama sekali tidak melakukan pengawasan terhadap utang-utang swasta luar negeri ini, kecuali yang berkaitan dengan proyek pemerintah dengan dibentuknya tim PKLN. Bagi debitur dalam negeri, terjadinya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar ini, di samping lebih menguntungkan, juga disebabkan suatu gejala yang dalam teori ekonomi dikenal sebagai fallacy of thinking2 , di mana pengusaha beramai-ramai melakukan investasi di bidang yang sama meskipun bidangnya sudah jenuh, karena masing-masing pengusaha hanya melihat dirinya sendiri saja dan tidak memperhitungkan gerakan pengusaha lainnya. Pihak kreditur luar negeri juga ikut bersalah, karena kurang hati-hati dalam memberi pinjaman dan salah mengantisipasi keadaan (bandingkan IMF, 1998: 5). Jadi sudah sewajarnya, jika kreditur luar negeri juga ikut menanggung sebagian dari kerugian yang diderita oleh debitur.
Kalau masalahnya hanya menyangkut utang luar negeri pemerintah saja, meskipun masalahnya juga cukup berat karena selama bertahun-tahun telah terjadi net capital outflow3 yang kian lama kian membesar berupa pembayaran cicilan utang pokok dan bunga, namun masih bisa diatasi dengan pinjaman baru dan pemasukan modal luar negeri dari sumber-sumber lain. Beda dengan pinjaman swasta, pinjaman luar negeri pemerintah sifatnya jangka panjang, ada tenggang waktu pembayaran, tingkat bunganya relatif rendah, dan tiap tahunnya ada pemasukan pinjaman baru.
Pada awal Mei 1998 besarnya utang luar negeri swasta dari 1.800 perusahaan diperkirakan berkisar antara US$ 63 hingga US$ 64 milyar, sementara utang pemerintah US$ 53,5 milyar. Sebagian besar dari pinjaman luar negeri swasta ini tidak di hedge (Nasution: 12). Sebagian orang Indonesia malah bisa hidup mewah dengan menikmati selisih biaya bunga antara dalam negeri dan luar negeri (Wessel et al., hal. 22), misalnya bank-bank. Maka beban pembayaran utang luar negeri beserta bunganya menjadi tambah besar yang dibarengi oleh kinerja ekspor yang melemah (bandingkan IDE). Ditambah lagi dengan kemerosotan nilai tukar rupiah yang tajam yang membuat utang dalam nilai rupiah membengkak dan menyulitkan pembayaran kembalinya.




Pinjaman luar negeri dan dana masyarakat yang masuk ke sistim perbankan, banyak yang dikelola secara tidak prudent, yakni disalurkan ke kegiatan grupnya sendiri dan untuk proyek-proyek pembangunan realestat dan kondomium secara berlebihan sehingga jauh melampaui daya beli masyarakat, kemudian macet dan uangnya tidak kembali (Nasution: 28; Ehrke: 3). Pinjaman-pinjaman luar negeri dalam jumlah relatif besar yang dilakukan oleh sistim perbankan sebagian disalurkan ke sektor investasi yang tidak menghasilkan devisa (non-traded goods) di bidang tanah seperti pembangunan hotel, resort pariwisata, taman hiburan, taman industri, shopping malls dan realestat (Nasution: 9; IMF Research Department Staff: 10).
Proyek-proyek besar ini umumnya tidak menghasilkan barang-barang ekspor dan mengandalkan pasar dalam negeri, maka sedikit sekali pemasukan devisa yang bisa diandalkan untuk membayar kembali utang luar negeri. Krugman melihat bahwa para financial intermediaries juga berperan di Thailand dan Korea Selatan dengan moral nekat mereka, yang menjadi penyebab utama dari krisis di Asia Timur. Mereka meminjamkan pada proyek-proyek berisiko tinggi sehingga terjadi investasi berlebihan di sektor tanah (Krugman, 1998; Greenwood). Mereka mulai mencari dollar AS untuk membayar utang jangka pendek dan membeli dollar AS untuk di hedge (World Bank, 1998, hal. 1.4).
4.      Permainan yang dilakukan oleh spekulan yang dikenal sebagai hedge funds tidak mungkin dapat dibendung dengan melepas cadangan devisa yang dimiliki Indonesia pada saat itu, karena praktek margin trading, yang memungkinkan dengan modal relatif kecil bermain dalam jumlah besar. Dewasa ini mata uang sendiri sudah menjadi komoditi perdagangan, lepas dari sektor riil. Para spekulan ini juga meminjam dari sistim perbankan untuk memperbesar pertaruhan mereka. Itu sebabnya mengapa Bank Indonesia memutuskan untuk tidak intervensi di pasar valas karena tidak akan ada gunanya. Meskipun pada awalnya spekulan asing ikut berperan, tetapi mereka tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas pecahnya krisis moneter ini. Sebagian dari mereka ini justru sekarang menderita kerugian, karena mereka membeli rupiah dalam jumlah cukup besar ketika kurs masih di bawah Rp. 4.000 per dollar AS dengan pengharapan ini adalah kurs tertinggi dan rupiah akan balik menguat, dan pada saat itu mereka akan menukarkan kembali rupiah dengan dollar AS (Wessel et al.,hal.1) Namun pemicu adalah krisis moneter kiriman yang berawal dari Thailand antara Maret sampai Juni 1997, yang diserang terlebih dahulu oleh spekulan dan kemudian menyebar ke negara Asia lainnya termasuk Indonesia. Krisis moneter yang terjadi sudah saling kait-mengkait di kawasan Asia Timur dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya (butir 16 dari persetujuan IMF 15 Januari 1998).
5.      Kebijakan fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistim nilai tukar dengan pita batas intervensi. Sistim ini menyebabkan apresiasi nyata dari nilai tukar rupiah dan mengundang tindakan spekulasi ketika sistim batas intervensi ini dihapus pada tanggal 14 Agustus 1997 (Nasution: 2). Terkesan tidak adanya kebijakan pemerintah yang jelas dan terperinci tentang bagaimana mengatasi krisis (Nasution: 1) dan keadaan ini masih berlangsung hingga saat ini. Ketidak mampuan pemerintah menangani krisis menimbulkan krisis kepercayaan dan mengurangi kesediaan investor asing untuk memberi bantuan finansial dengan cepat (World Bank, 1998: 1.10).
6.      Defisit neraca berjalan yang semakin membesar (IMF Research Department Staff: 10; IDE), yang disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih besar dari ekspor dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman. Sebab utama adalah nilai tukar rupiah yang sangat overvalued, yang membuat harga barang-barang impor menjadi relatif murah dibandingkan dengan produk dalam negeri.
7.      Penanam modal asing portfolio yang pada awalnya membeli saham besar-besaran dimingimingi keuntungan yang besar yang ditunjang oleh perkembangan moneter yang relatif stabil kemudian mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar (bandingkan World Bank, 1998, hal. 1.3, 1.4; Greenwood). Selisih tingkat suku bunga dalam negeri dengan luar negeri yang besar dan kemungkinan memperoleh keuntungan yang relatif besar dengan cara bermain di bursa efek, ditopang oleh tingkat devaluasi yang relatif stabil sekitar 4% per tahun sejak 1986 menyebabkan banyak modal luar negeri yang mengalir masuk. Setelah nilai tukar Rupiah tambah melemah dan terjadi krisis kepercayaan, dana modal asing terus mengalir ke luar negeri meskipun dicoba ditahan dengan tingkat bunga yang tinggi atas surat-surat berharga Indonesia (Nasution: 1, 11). Kesalahan juga terletak pada investor luar negeri yang kurang waspada dan meremehkan resiko (IMF, 1998: 5). Krisis ini adalah krisis kepercayaan terhadap rupiah (World Bank, 1998, p. 2.1).
8.      IMF tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda pengucuran dana bantuan yang dijanjikannya dengan alasan pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan dengan baik. Negara-negara sahabat yang menjanjikan akan membantu Indonesia juga menunda mengucurkan bantuannya menunggu signal dari IMF, padahal keadaan perekonomian Indonesia makin lama makin tambah terpuruk. Singapura yang menjanjikan l.k. US$ 5 milyar meminta pembayaran bunga yang lebih tinggi dari pinjaman IMF, sementara Brunei Darussalam yang menjanjikan l.k. US$ 1 milyar baru akan mencairkan dananya sebagai yang terakhir setelah semua pihak lain yang berjanji akan membantu telah mencairkan dananya dan telah habis terpakai. IMF sendiri dinilai banyak pihak telah gagal menerapkan program reformasinya di Indonesia dan malah telah mempertajam dan memperpanjang krisis.
9.      Spekulan domestik ikut bermain. Para spekulan inipun tidak semata-mata menggunakan dananya sendiri, tetapi juga meminjam dana dari sistim perbankan untuk bermain.
10.  Terjadi krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbu membeli dollar AS agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah bisa menarik keuntungan dari merosotnya nilai tukar rupiah. Terjadilah snowball effect, di mana serbuan terhadap dollar AS makin lama makin besar. Orang-orang kaya Indonesia, baik pejabat pribumi dan etnis Cina, sudah sejak tahun lalu bersiap-siap menyelamatkan harta kekayaannya ke luar negeri mengantisipasi ketidak stabilan politik dalam negeri. Sejak awal Desember 1997 hingga awal Mei 1998 telah terjadi pelarian modal besar-besaran ke luar negeri karena ketidak stabilan politik seperti isu sakitnya Presiden dan Pemilu. Kerusahan besar-besaran pada pertengahan Mei yang lalu yang ditujukan terhadap etnis Cina telah menggoyahkan kepercayaan masyarakat ini akan keamanan harta, jiwa dan martabat mereka. Padahal mereka menguasai sebagian besar modal dan kegiatan ekonomi di Indonesia dengan akibat mereka membawa keluar harta kekayaan mereka dan untuk sementara tidak melaukan investasi baru.
11.  Terdapatnya keterkaitan yang erat dengan yen Jepang, yang nilainya melemah terhadap dollar AS (lihat IDE). Setelah Plaza-Accord tahun 1985, kurs dollar AS dan juga mata uang negara-negara Asia Timur melemah terhadap yen Jepang, karena mata uang negaranegara Asia ini dipatok dengan dollar AS. Daya saing negara-negara Asia Timur meningkat terhadap Jepang, sehingga banyak perusahaan Jepang melakukan relokasi dan investasi dalam jumlah besar di negara-negara ini. Tahun 1995 kurs dollar AS berbalik menguat terhadap yen Jepang, sementara nilai utang dari negara-negara ini dalam dollar AS meningkat karena meminjam dalam yen, sehingga menimbulkan krisis keuangan.
Di lain pihak harus diakui bahwa sektor riil sudah lama menunggu pembenahan yang mendasar, namun kelemahan ini meskipun telah terakumulasi selama bertahun-tahun masih bisa ditampung oleh masyarakat dan tidak cukup kuat untuk menjungkir-balikkan perekonomian Indonesia seperti sekarang ini. Memang terjadi dislokasi sumber-sumber ekonomi dan kegiatan mengejar rente ekonomi oleh perorangan/kelompok tertentu yang menguntungkan mereka ini dan merugikan rakyat banyak dan perusahaan-perusahaan yang efisien. Subsidi pangan oleh BULOG, monopoli di berbagai bidang, penyaluran dana yang besar untuk proyek IPTN dan mobil nasional. Timbulnya krisis berkaitan dengan jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS secara tajam, yakni sektor ekonomi luar negeri, dan kurang dipengaruhi oleh sektor riil dalam negeri, meskipun kelemahan sektor riil dalam negeri mempunyai pengaruh terhadap melemahnya nilai tukar rupiah. Membenahi sektor riil saja, tidak memecahkan permasalahan.
Dunia kembali diguncang krisis di tahun 2014 ini. Mata uang negara emerging market alias negara berkembang tengah terjun bebas terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Akibatnya, negara-negara berkembang terancam krisis keuangan. Pasar saham berjatuhan, nilai tukar rontok, harga minyak jatuh, suku bunga naik. Kondisinya memang serupa tapi tak sama dengan krisis tahun 1998.
Pada tahun 1997/1998, negara-negara berkembang mengalami kejatuhan yang dahsyat. Selain Asia, Venezuela juga terjatuh ke jurang krisis, sementara Rusia masuk ke kondisi gagal bayar utang dan devaluasi. Apa yang terjadi pada tahun 2014 ini hampir sama. Namun, dampaknya tidak sedahsyat kondisi 16 tahun silam karena telah terjadi sejumlah perubahan fundamental. Perbandingkan fakta-fakta antara kondisi tahun 1998 dan 2014.

Persamaan
1.      Dari sisi kejatuhan harga minyak mentah dunia.
Sejak Juni hingga penghujung tahun 2014, harga minyak tercatat merosot hingga 48 persen menjadi USD 55 per barel. Kondisi itu langsung menghantam negara-negara eksportir mulai dari Venezuela hingga Rusia dan Nigeria.
Menurut data yang dirangkumBloomberg, Credit default swap (CDS) menunjukkan 97 persen kemungkinan Venezuela akan mengalami gagal bayar utang dalam lima tahun. Perekonomian Rusia yang kini sedang terkena sanksi dari AS dan Uni Eropa terkait konflik Ukraina diproyeksi akan mengalami kontraksi 4,7 persen tahun 2015 jika harga minyak tetap USD 60 per barel.
2.      Dari sisi nilai tukar mata uang.
Berdasarkan penelusuran Bloomberg terhadap 20 mata uang emerging market paling banyak diperdagangkan, terjadi penurunan ke titik terendah sejak tahun 2003. Rubel tercatat merosot melewati level 64 per dolar untuk pertama kalinya. Lira juga merosot ke titik terendahnya, sementara rupiah terendah sejak tahun 1998. Pada masa krisis finansial Asia tahun 1997 dan 1998, negara-negara Asia dari Thailand, Indonesia hingga Malaysia harus berjuang mati-matian mempertahankan mata uangnya. Baht tercatat mengalami kemerosotan paling besar, nilainya terpangkas hingga setengahnya dalam enam bulan. Hal itu menyebabkan cadangan devisa negara terkuras habis. Warga Korea Selatan bahkan turun ke jalanan untuk mendonasikan perhiasan emasnya untuk membantu pemerintah menambah cadangan devisa sehingga bisa membantu mempertahankan mata uangnya.
3.      Kebijakan Bank Sentral AS.  Bank Sentral AS mulai bersiap untuk menaikkan suku bunga untuk pertama kalinya sejak tahun 2006, sehingga mengancam arus modal negara-negara berkembang. Bank Dunia tahun lalu memperkirakan bahwa aliran modal swasta ke negara-negara berkembang bisa merosot hingga 50 persen seandainya imbal hasil surat utang AS naik satu persen poin.
    Credit Agricole CIB memperkirakan negara-negara dengan defisit neraca berjalan besar termasuk Turki, Afrika Selatan, dan Brasil sangat rentan. Demikian pula negara seperti Malaysia, yang 30 persen surat utang pemerintahnya dipegang investor asing. Serangkaian kenaikan suku bunga AS pada pertengahan tahun 1990-an memicu kejatuhan mata uang Asia yang membuat Rusia mengalami gagal bayar.

Perbedaan
1.      Mata uang yang fleksibel.
Negara-negara berkembang saat ini telah membiarkan mata uangnya berfluktuasi. Sebelum krisis tahun 1998, kebanyakan negara berkembang mematok mata uangnya. Kondisi ini jelas membuat pembedaan karena meski mata uang yang melemah akan memicu inflasi, akan tetapi juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi karena membuat ekspor menjadi lebih murah.
2.      Cadangan devisa.
Pada saat krisis tahun 1998, cadangan devisa negara-negara berkembang sangat sedikit sehingga sangat rentan untuk membantu meredam gejolak pasar. Sementara saat ini, jumlah cadangan devisa sudah sangat kuat. Data yang dikompilasi oleh IMF dan dikutip dari Bloomberg menunjukkan bahwa negara-negara berkembang tercatat menguasai cadangan devisa hingga USD 8,1 triliun, dibandingkan hanya USD 659 miliar pada tahun 1999.
Khusus untuk Indonesia, cadangan devisa kini sudah mencapai USD 111,144 miliar.Jika bandingkan dengan cadangan devisa Indonesia saat krisis tahun 1998 yang hanya sebesar USD 14,4 miliar.
3.      Jumlah utang.
Ketimbang meminjam dalam dolar, negara-negara di dunia kini lebih memilih meminjam dalam mata uang lokal. Hal ini membawa keuntungan karena mereka bisa membayar utang tanpa perlu menarik cadangan devisa. Utang luar negeri di negara-negara berkembang tercatat sebesar 26 persen dari PDB pada tahun 2013. Menurut data IMF, angka tersebut menunjukkan penurunan hingga 40 persen dibandingkan kondisi pada tahun 1999.
Utang pemerintah melegakan, tetapi tidak demikian dengan utang swasta. Perusahaan-perusahaan di negara berkembang tercatat menjual surat utang global hingga USD 375 miliar pada periode tahun 2009 hingga 2012. Jumlah itu menurut Bank for International Settlements mencapai dua kali lipat dibandingkan kondisi empat tahun sebelum terjadinya krisis finansial tahun 2008.
4.      Tingkat suku bunga.
   Tingkat suku bunga di negara-negara berkembang naik, akan tetapi masih lebih rendah dibandingkan level ketika krisis tahun 1998. Rusia menaikkan suku bunga patokannya sebesar 6,5 persen poin menjadi 17 persen terhitung pada 16 Desember. Sejumlah suku bunga jangka pendek melonjak hingga 100 persen pada tahun 1998.
     Di Brasil, pembuat kebijakan menaikkan suku bunga patokan menjadi 11,75 persen. Akan tetapi, tingkat suku bunga itu masih setengah dari suku bunga pada tahun 1998. Demikian pula Indonesia yang menahan suku bunga patokan di level 7,75 persen, dibandingkan pada tahun 1998 ketika suku bunga mencapai 60 persen.
     Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengemukakan, terkait dengan melemahnya nilai tukar rupiah akhir-akhir ini, sebenarnya dari sisi fundamental ekonomi tidak banyak hal yang perlu dikhawatirkan karena memang semua negara sekarang ini mendapatkan pelemahan nilai tukarnya.
“Kita melihat bahwa sebetulnya negara kita kalau dibandingkan dengan Jepang, Malaysia, apalagi dengan Rusia, kita berada pada posisi yang masih sangat baik,” kata Jokowi saat memimpin Rapat Terbatas Perekonomian di kantor Presiden, Jakarta, Rabu (17/12).
Selain itu Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang  Brodjonegoro   juga mengatakan kepada para pewarta dalam konferensi pers keterangan Perkembangan Ekonomi Indonesia Terkini, di Gedung Frans Seda Kompleks Kementerian Keuangan, Jakarta,  Selasa (10.3) bahwa peleman nilai rupiah di awal 2015 berbeda dengan saat krisis ekonomi dan moneter 1998 silam.
"Kondisi sekarang (2015) berbeda dengan 1998, saat ini memang dolar lagi menguat, ekonomi AS sedang membaik. Jadi bukan hanya rupiah (yang melemah) tapi mata uang yang lainnya juga," kata Bambang berharap, masyarakat tidak panik dengan kondisi melemahnya rupiah yang saat ini mencapai level Rp13.000 per USD.
Berdasarkan kurs transaksi BI Selasa (10/3), nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS menjadi 13.124 (kurs jual) /12.994 (kurs beli) dibandingkan dengan posisi kemarin 13.112/12.982 per dolar AS. Namun rupiah menguat terhadap euro menjadi 14.211,98/14.068,60 dibanding posisi kemarin 14.218,65/14.072,49. Nilai tukar rupiah juga menguat terhadap yen Jepang menjadi 10.788,33/10.679,71 dibanding posisi kemarin sebesar 10.849,81/10.740,46. Rupiah juga menguat terhadap dolar Australia menjadi 10.060,86/9.958,60 dibandingkan dengan nilai kemarin sebesar 10.093,62/9.988,35.
Menurut Presiden, penguatan dolar AS harus menjadi peluang untuk mendorong industri.  “Harus diberikan insentif agar industri-industri yang berorientasi ekspor itu bisa lebih cepat sehingga bisa mengambil keuntungan dari posisi pelemahan nilai rupiah ini,” ujarnya.
Presiden Jokowi ingin satu pikiran dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar pelemahan rupiah ini tidak ditanggapi dengan sebuah kecemasan atau kekhawatiran yang tinggi.
“Semua negara mengalami ini dan jangan dibandingkan dengan 1997 dan 1998 karena keadaannya memang berbeda. Saya mengalami sendiri saat itu,” kata Jokowi.

3.4 KEADAAN EKONOMI DI INDONESIA PADA SAAT INI 2015
Jakarta, 10 Maret 2015 - Kondisi perekonomian global saat ini masih berada pada fase yang penuh ketidakpastian, antara lain ditunjukan oleh koreksi proyeksi pertumbuhan perekomian dunia oleh lembaga-lembaga internasional. Belum kondusifnya perkembangan perekonomian di dunia antara lain diakibatkan oleh melemahnya pertumbuhan ekonomi negara-negara maju dan berkembang, penurunan harga komoditas, serta perbedaan arah kebijakan moneter dan fiskal di berbagai kawasan.
Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS berada pada level Rp13.047 pada penutupan perdagangan hari Senin tanggal 9 Maret 2015. Sehingga selama tahun 2015 Rupiah mengalami depresiasi terhadap mata uang dollar AS sebesar 4,81% (ytd). Depresiasi nilai tukar Rupiah tersebut seiring dengan tren depresiasi mata uang yang dialami oleh negara-negara lain, yang lebih disebabkan oleh faktor eksternal antara lain penguatan nilai tukar dollar AS terhadap mata uang negara-negara lain sejalan dengan perbaikan perekonomian AS serta kebijakan normalisasi moneter yang diambil oleh the US Fed.
Ditinjau dari indikator Real Effective Exchange Rate (REER), yang mengukur kondisi  perekonomian suatu negara dengan memperhatikan pergerakan nilai tukar, pergerakan REER Indonesia masih sejalan dengan arah pergerakan negara emerging markets lainnya. Posisi REER Indonesia  juga masih berada level yang cukup kompetitif, khususnya dibandingkan dengan negara ASEAN-5.
Secara historis,  berdasarkan data perekonomian Indonesia beberapa tahun terakhir pada saat terjadi depresiasi rupiah seperti: krisis global 2008/2009 serta isu tapering off mulai bergulir,  arus FDI masih tetap masuk ke Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah karena aktivitas investasi di Indonesia, baik asing maupun domestik, banyak yang dikategorikan investasi mendukung konsumsi domestik.
Perlu digarisbawahi bahwa tren depresiasi nilai tukar Rupiah Indonesia kali ini berbeda dengan kondisi pada saat krisis keuangan tahun 1997-1998 dan krisis 2008-2009. Kondisi perekonomian Indonesia saat ini jauh lebih baik, dan beberapa indikator lain seperti indeks harga saham gabungan (IHSG) dan posisi cadangan devisa menunjukan tren peningkatan, berbeda dibandingkan dengan kondisi pada saat dua krisis terdahulu terjadi. Di samping itu untuk memitigasi risiko eksternal yang berasal dari dinamika sektor keuangan global seperti rencana kenaikan suku bunga The Fed, Pemerintah telah menyiapkan  beberapa langkah-langkah antisipasi sebagai berikut:
1.      Membentuk protokol managemen krisis nasional di dalam wadah FKSSK yang beranggotakan Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas  Jasa Keuangan serta Lembaga Penjamin Simpanan. 
2.      Menyiapkan implementasi Bond Stabilization Framework (BSF) dengan beberapa lapisan pencegahan (lines of defense), di antaranya pembelian kembali (buyback) sekuritas utang, penggunaan dana investasi BUMN, termasuk BPJS serta Saldo Anggaran Lebih/SAL.
3.      Membentuk beberapa currency swap line, antara lain di level bilateral (non-USD denominated), di antaranya dengan China, Jepang, dan Korea Selatan, dan di level regional ASEAN+3 (non-USD denominated) melalui CMIM disertai perjanjian pengumpulan cadangan devisa secara kolektif (pooled FX reserve).
4.      Menyiapkan Deferred Draw Down Option (DDO)  bekerja sama dengan World Bank, Asian Development Bank, Australia serta Jepang (JBIC) senilai total USD 5 miliar yang diperuntukan untuk mengantisipasi dampak ketidakpastian global terhadap perekonomian Indonesia khususnya pembiayaan APBN.
Namun demikian, Pemerintah memahami bahwa depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap dollar AS akan membawa dampak pada pelaksanaan APBN-P 2015. Utamanya, pengaruh depresiasi akan menyebabkan penurunan defisit pada postur APBN-P 2015. Seiring dengan depresiasi Rupiah, penerimaan negara akan lebih tinggi dibandingkan dengan tambahan belanja yang harus dikeluarkan. Reformasi kebijakan subsidi energi yang telah dilakukan oleh pemerintah membuat tekanan belanja subsidi akibat pergerakan kurs menjadi berkurang. Di sisi lain, kebijakan pemerintah yang lebih mengandalkan sumber pembiayaan dalam negeri serta penerapan negative net flow untuk utang luar negeri membuat tambahan belanja pembayaran bunga utang relatif terkendali.
Pemerintah juga menyadari tambahan kebijakan belanja infrastruktur  yang secara signifikan dilalokasikan di APBN-P 2015 berpotensi meningkatkan risiko bagi current acccount  melalui peningkatan impor,  namun Pemerintah memperkirakan defisit current account  masih akan managable dan sustainable pada level sekitar 3%. Yang lebih penting lagi defisit current account yang terjadi sekarang diakibatkan oleh kegiatan yang produktif, yaitu pembangunan infrastruktur. Di samping itu di dalam jangka menengah panjang kebijakan peningkatan belaja infrastruktur ini akan meningkatkan daya saing perekonomian sehingga akan memberikan kontribusi bagi perbaikan current account.
Beberapa upaya yang akan dilakukan Pemerintah untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan antara lain:
1.      Dalam rangka meningkatkan daya saing produk dalam negeri, Pemerintah juga akan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur fleksibilitas Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara (BMTPS), sebagai respon jika terdapat lonjakan impor barang tertentu, serta penyederhanaan prosedur dan mekanisme pengembalian.
2.      Dalam rangka mendorong peningkatan investasi langsung baik dari penanaman modal asing (PMA) maupun dalam negeri (PMDN), Pemerintah dalam waktu dekat akan mengeluarkan Revisi PP Nomor 52 Tahun 2011 yang biasa dikenal dengan tax allowance.  Fasilitas ini juga akan diberikan kepada dividen yang  direinvestasi di dalam negeri. Selain itu, prosedur pemberian tax allowance juga dipermudah yaitu melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan sebagian besar proses akan dilakukan di PTSP tersebut sehingga diharapkan proses akan lebih cepat.
3.      Mendorong kebijakan peningkatan penggunaan biofuel yang saat ini  ditetapkan sebesar 10% menjadi lebih tinggi lagi, tentunya dengan memperhatikan ketersediaan supply serta kebijakan harga yang kompetitif.
4.      Kebijakan lain yang juga akan dikeluarkan adalah skema perpajakan  khususnya PPN untuk industri pelayaran dalam negeri agar bisa lebih kompetitif.
5.      Mendorong terbentuknya BUMN reasuransi untuk mengurangi defisit di neraca jasa khususnya asuransi.
6.      Meningkatkan Law Enforcement untuk mendorong implementasi UU Mata uang  yang mewajibkan penggunaan rupiah untuk bertransaksi di dalam negeri.
7.      Mendukung kewajiban penggunaan LC untuk transaksi empat komoditas utama.
8.      Memperbaiki sistem remitansi untuk memudahkan arus masuk pendapatan orang Indonesia yang bekerja di luar negeri ke dalam sistem perbankan dalam negeri.
Pemerintah telah melakukan langkah perbaikan penyehatan APBN untuk mendukung stabilitas makroekonomi antara lain melalui defisit APBN yang dijaga pada tingkat yang rendah serta alokasi belanja APBN dibuat lebih produktif. Selain itu rasio utang Pemerintah terhadap PDB berada pada kisaran 24% yang merupakan tingkat yang aman dan rendah dibandingkan dengan negara lain.

BAB IV
ANALISIS

Berdasarkan isi dari krisis perekonomian diindonesia tahun 1998 kami dapat mengamati bahwa:
1.      Akar dari semua permasalahan ini adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya akumulasi utang swasta luar negeri telah melebihi batas utang resmi pemerintah.
2.      kesalahan pemerintah dalam pengaturan kebijakan fiskal dan moneter yang dinilai tidak konsisten,tidak hanya itu ketidak mampuan pemerintah dalam mengatasi krisis menimbulkan krisis kepercayaan  dan mengurangi kesedian investor asing untuk memberi bantuan dengan cepat.

BAB IV
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dijabarkan di atas bisa disimpulkan bahwa kondisi awal krisis ekonomi di Indonesia sama sekali tidak terprediksi . pemulihan krisis ekonomi di Indonesia bisa di lakukan apabila Pelaksanaan agenda politik secara aman, lancar, tertib dan sesuai dengan aspirasi sebagian besar rakyat merupakan keharusan, apabila semua itu terwujud ekonomi akan segera pulih. Sebaliknya,bila kerusuhan sosial terus meningkat dan pemilu tidak dapat dilaksanakan, maka pemulihan ekonomi sulit diharapkan dalam waktu cepat.Oleh karena itu, keinginan seluruh rakyat Indonesia yang menghendaki agar pemilu berlangsung jujur, adil, transparan, serta demokratis harus benar-benar dilaksanakan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.

5.2. Saran
1. Seharusnya krisis ekonomi di Indonesia dapat diprediksi dari jauh-jauh hari
2. Pemerintah seharusnya bersikap hati-hati dalam setiap menetapkan moneter dan mengetahui penyebab terjadinya krisis ekonomi.
3. Sebaiknya pemerintah bersikap cermat dan bertindak cepat dalam mencari solusi untuk menanggulangi krisis ekonomi yang di landa negara Indonesia, langkah yang harus diambil untuk mengatasi kemelut ini adalah dengan menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam tingkat yang wajar, restrukturisasi perbankan, dan penyelesaian masalah utang swasta dengan penjadwalan ulang Politik dan sosial yang tidak stabil semakin parah yang membuat investor asing menjadi enggan untuk menanamkan modal di Indonesia


Referensi:

ade-suyitno.blogspot.com/2011/10/v-behaviorurldefaultvmlo.html?m=1


Note : Makalah ini akan dibuat untuk memenuhi tugas softskill mata kuliah Perekonomian Indonesia, mohon maaf apabila ada kesalahan dan kekurangan penyusunannya, semoga makalah ini bermanfaat sebagai bahan referensi bagi pembaca